Jumat, 25 Mei 2012

Makalah Pendidikan Karakter


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Salah satu misi mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia Terlihat dengan jelas GBHN mengamanatkan arah wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan             prasarana        memadai. kebijakan di bidang pendidikan yaitu: meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi           pekerti             agar             dapat   mengembalikan.
Sementara itu, UU 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berangkat dari hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana, kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun, sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis melalui pendidikan karakter bangsa. Dalam pemberian pendidikan karakter bangsa di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, pendidikan karakter bangsa terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.

Menyikapi hal tersebut diatas, penulis lebih memilih pada pendapat yang ketiga. Untuk itu dalam makalah ini penulis mengambil judul "Menjawab Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Implementasi Keterpaduan Pembelajaran
serta Pembentukan Karakter Guru dan Dosen sebagai Upaya Mewujudkan Pendidikan Karakter di Indonesia"

1.2  TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Belajar Pembelajaran. Selain itu saya juga berharap dengan adanya makalah ini dapat membuka mata dan hati kita dalam menyikapi perkembangan pendidikan sekarang ini
1.3  RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah Pendidikan Karakter Bangsa dapat terintegrasi kedalam semua mata pelajaran?
2.      Bagaimanakah cara mengimplementasikan Pendidikan Karakter ke dalam semua mata pelajaran?
3.      Bagaimanakah proses pengembangan Pendidika Karakter Bangsa?
1.4 METODE PENULISAN
Penulisan yang saya pakai menggunakan metode kepustakaan,studi pustaka dan mencari tambahan materi melalui internet.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Pendidikan Karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pengertian makna pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum , proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan,penanganan atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pengertian makna pendidikan karakter atau konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
2.2 HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER
Semua orang membicarakan pendidikan karakter. Bahkan tema utama yang diangkat dalam rangka memperingati Hardiknas tahun 2010  adalah “Pendidikan karakter dalam rangka membangun peradaban bangsa” dan Hari Sumpah Pemuda “Membangun Karakter Pemuda Demi Bangsa”. Selain itu, di berbagai tempat dan papan poster terpampang pendidikan karakter. Apa sebenarnya pendidikan karakter?
Perlu dilihat terlebih dahulu hakikat pendidikan. Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi) (Adnan, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan , dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Masih ingat tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa Yogyakarta yang memberikan teladan dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani (didepan memberi contoh, di tengah ikut berkarya, dan di belakang turut mendukung). Selain itu tokoh pendidikan tersebut pernah mengatakan pesan bahwa, “Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan.” Pesan tersebut disampaikan di Taman Siswa Yogyakarta.
Dukungan pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Wuryadi (Adnan, 2010)bahwa manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. DASAR, dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan AJAR adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karakter tersebut diperkuat dengan dasar hukum yang jelas pada UU Sisdiknas pasal 3, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan di sekolah dan kampus. Namun demikian, kita harus menrujuk pendapat Stiles (1998) bahwa “Pembangunan karakter tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan terprogram sejak dini” (Furqon, 2010).

2.3 RAGAM PENDIDIKAN KARAKTER
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz.  Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikanupaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu  siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak  dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.  
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.
2.4 PERPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan  bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).
 Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang  sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:
·         Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
·         Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
·         Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·         Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·         Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
·         Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
·         Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·         Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam. 
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler dapat didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.
     a.  Perspektif programatik 
1. Habit versus Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan perilaku kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus ”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan (loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan, persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua pertanyaan tersebut.
3. Focus on the individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps & Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
    b. Perspektif Teoritis 
1. Community of care (Watson)
2. constructivist approach to sociomoral development (DeVries)
3. child development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic  approach (Lickona)
5. traditional perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam Williams, 2000: 36)
2.5 EKSISTENSI GURU KREATIF DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
 “Guru yang baik terwujud dari hati.” (Barbara Dorff, guru sekolah lanjutan teladan dari texas) dan “Hal yang paling indah tentang mengajar adalah bahwa semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak pula yang akan kita peroleh kembali.” (Richard Sprecher, guru teladan dari Montgomery Country, Maryland) (Fakhrudin, 2009:98). Bagimana dengan kita?
Guru menjadi kata kunci untuk mewujudkan pendidikan karakter. Guru sebagai orang yang dipercaya dan diteladani oleh murid harus memberikan contoh karakter yang kuat. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat bagai seorang guru untuk membentuk karakter siswanya. Dengan demikaan, akan terwujud filosofi guru digugu (dipercaya) dan ditiru(diteladani). Akan tetapi apabila perilaku guru tidak dapat menjadi teladan bagi siswanya tetapi justru menjadi “tontonan” salah siapa?
Seorang guru harus mendidik. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang disamapaikan Santoso (1981:33, Hidayatullah, 2010:18) bahwa tujuan setiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat. Selanjutnya dijelaskna pula bahwa pendidikan bertugas mengembangkan potensi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemmapuan, dan batas kemampuannya. Merujuk pemikiran di atas, berarti pembentukan karakter dan watak menjadi salah satu tanggung jawab dan tugas seorang guru dalam mendidik peserta didiknya.
Mendukung pendapat di atas, Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa guru yang memiliki makna “digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter yang kuat. Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi teladan bukan sekadar memberi teladan dan menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh.
Kesadaran menjadi guru kreatif dan berkarakter yang menjadi contoh dan teladan harus dimiliki oleh guru TK, SD, SMP/MTs, SMA/MA/K tanpa terkecuali. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut harus dilakukan secara bersama-sama antara dinas pendidikan, pemerintah, stakeholder pendidikan, dan semua elemen bangsa. Dengan duduk bersama para pemangku kepentingan pendidikan memikirkan kepentingan bangsa dan generasi penerus secara komit maka akan terwujud pendidikan karakter bangsa.
Dalam rangka pembentukan karakter guru ini, seorang dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. telah menulis buku: (1) Guru Sejati: Membangun Insan Berkarkater Kuat dan Cerdas’ dan (2) Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa yang diterbitkan Penerbit Yuma Pustaka Surakarta. Dengan membaca kedua buku tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi guru dan dosen untuk menjadi guru dan dosen yang berkarakter kuat dan cerdas. Dengan demikian akan lahir guru-guru dan dosen-dosen kreatif, inovatif, cerdas, dan berkarakter kuat.

2.6  PERAN DOSEN INSPIRATIF DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Merujuk pada pemikiran dan kedua buku Prof. Dr. Furqon (2009 dan 2010) guru dan dosen akan termotivasi untuk selalu menjadi inspirator bagi mahasiswanya. Dosen harus menjadi pionir teladan bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Seoarang dosen memiliki tugas dan tanggung jawab tidak jauh seperti seorang guru. Akan tetapi, seorang dosen memiliki tanggung jawab untuk menjadi pionir taladan bagi mahasiswaa dan masyarakat dalam melaksanakan tri darma perguruan tinggi. Dengan demikian, peran dosen di perguruan tinggi harus memiliki citra inspiratif dan berkarkater.
Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa keluaran institusi pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang “pandai” tetapi juga orang “baik” dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”, sebaiknya juga pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “baik” tetapi “tidak pandai”. Pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter.
Mengacu pada pemikiran di atas, seorang dosen harus refleksi diri akan kinerja selama ini. Seorang dosen harus selalau berkarya dan mengimplementasikannya kepada mahasiswa melalui pembelajaran, kepada masyarakat melalui penelitian dan pengabdian. Hal dapat didasarkan pada prinsip bahwa kuatnya arus pembelajaran berarti kuatnya karakter guru dan dosen, kuatnya karakter guru dan dosen berarti kuatnya pendidikan kita, dan kuatnya pendidikan kita berarti kuatnya bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak boleh ada rantai terputus antara guru dan dosen dalam pembentukan karakter generasi muda di masa yang akan datang.
Pemikiran Hidayatullah (2010:19) bahwa orang yang “pandai” saja tetapi “tidak baik” akan menghasilkan orang yang “berbahaya” karena dengan kepandaiannya bisa menjadikan sesuatu menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Setidak-tidaknya pendidikan masih lebih bagus menghasilkan orang-orang “baik” walaupun kurang “pandai.” Tipe ini paling tidak akan memberikan suasana kondusif karena ia memiliki aklhak yang baik.
Upaya untuk mewujudkan pemikiran tersebut terjadi di perguruan tinggi karena para sarjana dipersiapkan sebagai generasi penerus yang berakhlak dan mandiri. Oleh karena itu, pemikiran tersebut didukung oleh Ary Ginanjar (dalm Hidayatullah, 2009:v) bahwa saya semakin merasakan betapa pentingnya pendidikan karakter setelah mempelajari ilmu dan semangat samurai. Para samurai memilki dua hal, yaitu Wasa dan Do. Wasa artinya skill sedangkan Do artinya The way of life (prinsip hidup) yang dikenal Bushido. Pemikiran-pemikiran tersebut dapat direalisasikan apabila dosen membelajarkan mahasiswa dengan kreativitas berimbang antara hardskill dan softskill, dan landasan karakter yang kuat. Dengan demikian, akan dihasilkan para sarjana yang berkarakter kuat dan cerdas sebagai calon generasi bangsa.

2.7  GURU DAN DOSEN HARUS REFLEKSI DIRI
Sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru dan dosen ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru dan dosen. Tidak semua guru dan dosen yang telah mendapat sertifikat pendidik dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas. Selain itu, belum tentu semua profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Dengan pernyataan ini bukan berarti penulis merasa sudah profesional. Akan tetapi justru harus dipikirkan secara bersama-sama bagaimana upaya untuk merefleksi dan memperbaikinya.
Pemikiran tersebut selaras dengan pendapat Walantaqi (2010:116) bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal dasar, yaitu (1) adanya kecerdasan (dzuka-in), (2) motivasi yang jelas arah dan sasaran yang tepat (birshin), (3) ketekunan dan usaha (isbtibar), (4) partisipasi dan pembiayaan (bulghat), (5) tenaga edukatif yang berkualitas (irsyadi ustadzin), (6) Long life learning (thuliz zamanain). Merujuk pendapat tersebut berarti peran guru dan dosen memilki andil penting sebagai salah satu modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.
Upaya refleksi peran guru dan dosen dalam upaya mewujudkan pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui karya pengembangan profesi, baik buku, modul, buku ajar, makalh, jurnal, dll.. Seorang guru dan dosen diharapkan dapat menumbangkan ide-ide kreatif dalam pengembangan genrasi muda yang berkarakter melalui seminar, workshop, lokakarya, dan diskusi ilmiah, baik tingkat nasional maupun internasional. Bukan hanya sebagai peserta tetapi sebagai pembicara. Dengan demikian, akan tercipta atmosfir akademik yang sinergis dan holistik dalam berbagai ranah kehidupan ilmiah, baik bagi guru dan dosen di mana pun berada.
Guru dan dosen diumpamakan tokoh-tokoh yang membentuk karakter pelajar dan mahasiswa. Selain itu, guru dan dosen juga yang memberikan senjata berupa “ilmu” sebagai “pedang” untuk mengubah dunia. Berbicara senjata untuk mengubah dunia ini harus belajar pada para Samurai. Para Samurai memiliki senjata yang disebut Katana atau Pedang. Pedang yang tajam tentu mengerikan dan berbahaya jika dimiliki oleh orang yang tidak bermoral. Pedang menjadi tidak berbahaya ketika pemegangnya mempunyai sifat yang disebut Bushido, yaitu amanah, pengasih, santun, sopan, mulia, hormat, dan lain-lain. Apabila para pelajar dan sarjana lulusan kita memiliki sikap dan perilaku seperti para Samurai, yakinlah bahwa pendidikan karkater akan dapat segera terwujud.
Dengan demikian,  peran guru dan dosen sangat besar dalam mewujudkan pendidikan karakter, dengan catatan guru dan dosen harus memiliki karakter kuat dan cerdas terlebih dahulu baru membentuk karakter pelajar dan mahasiswanya. Bagaimana dengan kita sebagai guru dan dosen? Marilah kita refleksi bersama-sama, kemudian niatkan dalam hati untuk refleksi dan mengubah diri untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pendidikan karakter bangsa Indonesia.


2.8 PENDIDIKAN KARAKTER
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.

2.9 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1.      Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
2.      Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3.      Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4.      Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5.      Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6.      Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7.      Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8.      Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa anak.

2.10 PERAN PENDIDIK DALAM MEMBENTUK KARAKTER SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1.      Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter
  1. Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3.      Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4.      Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
  1. Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka dapat disimpulkan sebagai            berikut :

1. Cukup beralasan bila pendidikan karakter bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu adalah karena meningkatkan akhlak luhur para siswa adalah tanggung jawab semua guru,semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan adalah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
2. Implementasi pendidikan karakter bangsa terintegrasikan kedalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan center core pada mata pelajaran yang dibelajarkan.
3. Proses pengembangan Pendidikan karakter bangsa sebagai pembelajaran terpadu harus diproses seperti kuriklum lainya yaitu sebagai ide, dokumen, dan proses; kejelian profesional dan penguasaan materi; dukungan pendidikan luar sekolah; arahan spontan dan penguatan segera; penilaian beragam; difusi, inovasi dan sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam pencanangan pembelajaran terpadu Pendidikan karakter bangsa.



Tidak ada komentar: