BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Salah satu misi mewujudkan visi bangsa
Indonesia masa depan telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu
guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan
bertanggungjawab, berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia Terlihat dengan
jelas GBHN mengamanatkan arah wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat
yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
kebijakan di bidang pendidikan yaitu: meningkatkan kemampuan akademik
dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti
agar dapat mengembalikan.
Sementara itu, UU 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sementara itu, UU 20 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan Nasional Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berangkat dari
hal tersebut diatas, secara formal upaya menyiapkan kondisi, sarana/prasarana,
kegiatan, pendidikan, dan kurikulum yang mengarah kepada pembentukan watak dan
budi pekerti generasi muda bangsa memiliki landasan yuridis yang kuat. Namun,
sinyal tersebut baru disadari ketika terjadi krisis akhlak yang menerpa semua
lapisan masyarakat. Tidak terkecuali juga pada anak-anak usia sekolah. Untuk
mencegah lebih parahnya krisis akhlak, kini upaya tersebut mulai dirintis
melalui pendidikan karakter bangsa. Dalam pemberian pendidikan karakter bangsa
di sekolah, para pakar berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang
berkembang. Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri
sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan karakter bangsa
diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama, dan mata
pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, pendidikan karakter bangsa
terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
Menyikapi hal tersebut diatas, penulis lebih memilih pada pendapat yang ketiga. Untuk itu dalam makalah ini penulis mengambil judul "Menjawab Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Implementasi Keterpaduan Pembelajaran serta Pembentukan Karakter Guru dan Dosen sebagai Upaya Mewujudkan Pendidikan Karakter di Indonesia"
Menyikapi hal tersebut diatas, penulis lebih memilih pada pendapat yang ketiga. Untuk itu dalam makalah ini penulis mengambil judul "Menjawab Pendidikan Karakter Bangsa Melalui Implementasi Keterpaduan Pembelajaran serta Pembentukan Karakter Guru dan Dosen sebagai Upaya Mewujudkan Pendidikan Karakter di Indonesia"
1.2 TUJUAN
PENULISAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Belajar Pembelajaran. Selain itu saya juga berharap dengan
adanya makalah ini dapat membuka mata dan hati kita dalam menyikapi
perkembangan pendidikan sekarang ini
1.3 RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah Pendidikan
Karakter Bangsa dapat terintegrasi kedalam semua mata pelajaran?
2.
Bagaimanakah cara
mengimplementasikan Pendidikan Karakter ke dalam semua mata pelajaran?
3.
Bagaimanakah
proses pengembangan Pendidika Karakter Bangsa?
1.4
METODE PENULISAN
Penulisan yang saya pakai menggunakan metode
kepustakaan,studi pustaka dan mencari tambahan materi melalui internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Pendidikan Karakter merupakan
suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pengertian
makna pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum , proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan,penanganan atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Pengertian makna pendidikan karakter atau
konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
2.2 HAKIKAT PENDIDIKAN KARAKTER
Semua orang membicarakan pendidikan karakter. Bahkan tema utama
yang diangkat dalam rangka memperingati Hardiknas tahun 2010 adalah “Pendidikan karakter dalam rangka
membangun peradaban bangsa” dan Hari Sumpah Pemuda “Membangun Karakter Pemuda
Demi Bangsa”. Selain itu, di berbagai tempat dan papan poster terpampang
pendidikan karakter. Apa sebenarnya pendidikan karakter?
Perlu dilihat terlebih dahulu hakikat pendidikan. Pendidikan
adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat
sehingga membuat orang dan masyarakat menjadi beradab. Pendidikan bukan
merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni
sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi)
(Adnan, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang anak harus mendapatkan
pendidikan yang menyentuh 3 dimensi dasar kemanusiaan: (1) afektif yang
tercermin pada kualitas keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, (2) kognitif yang
tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektualitas untuk menggali dan
mengembangkan , dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan
mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi
kinestetis.
Masih ingat tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dari Taman
Siswa Yogyakarta yang memberikan teladan dengan ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tutwuri handayani (didepan memberi contoh, di tengah ikut
berkarya, dan di belakang turut mendukung). Selain itu tokoh pendidikan
tersebut pernah mengatakan pesan bahwa, “Hidup haruslah diarahkan pada
kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan.” Pesan tersebut disampaikan di
Taman Siswa Yogyakarta.
Dukungan pendapat tersebut disampaikan oleh Prof. Wuryadi (Adnan,
2010)bahwa manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki
apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. DASAR, dapat
dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman
yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan AJAR adalah kondisi yang
sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan
atau diprogram.
Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan karakter tersebut
diperkuat dengan dasar hukum yang jelas pada UU Sisdiknas pasal 3, bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan pendidikan karakter pemerintah
melakukan berbagai upaya untuk mengimplementasikan di sekolah dan kampus. Namun
demikian, kita harus menrujuk pendapat Stiles (1998) bahwa “Pembangunan
karakter tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya sistematis dan
terprogram sejak dini” (Furqon, 2010).
2.3 RAGAM PENDIDIKAN
KARAKTER
Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian
pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di
antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai,
Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu
sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling
bertukaran (inter-exchanging),
misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan
relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan
karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti
dalam konten (isi), pendekatan
dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat
pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership;
International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah
mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan
karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan
karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz. Pendidikan karakter berkembang dengan
pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum,
sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values
(nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa
yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah
suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau
sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah
sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan
bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal,
seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk
membantu siswa mengembangkan
disposisi-disposisi guna bertindak
dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan
baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek
penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian
secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter
semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang
tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter
semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana
seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma
yang bersifat kontekstual dan kultural.
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di
atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang
memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana
norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan
karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah
dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada:
Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.
2.4 PERPEKTIF
PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter sebagai sebuah program
kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan
Monica J. Taylor (2000) menunjukkan
bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk
karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran
sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai
tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and
supplement the values children have already begun to develop by offering
further exposure to a range of values that are current in society (such as
equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect
on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor,
2000: 169).
Untuk membangun dan melengkapi
nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup
dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu
menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan
sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran
nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang
diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead
dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut
juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health
Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris,
Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan
Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin
dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia.
Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah
negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa
pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian
pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan
karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan
kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada)
kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter
bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the
Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam
konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak
ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan
karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan
di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam
setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan
Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim
implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris
(terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan
pentingnya:
·
Sejarah
sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen
rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
·
Bahasa
Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan
menghormati orang lain
·
Pengajaran
Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·
Matematika
sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·
Ilmu
Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap
tertentu terhadap lingkungan
·
Desain
dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai
multikultural dan anti-rasis
·
Ekspresi
Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental
kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·
Pendidikan
Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama
dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000:
173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa
pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian,
pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang
berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject).
Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian
dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan
masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan
insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam.
Pendidikan karakter sebagai sebuah program
kurikuler dapat didekati dari perspektif programatik maupun teoritis.
a. Perspektif programatik
1. Habit versus
Reasoning. Beberapa perspektif menekankan kepada pengembangan penalaran
dan refleksi moral seseorang, perspektif lainnya menekankan kepada mempraktikan
perilaku kebajikan hingga menjadi kebiasaan (habitual). Adapula yang melihat
keduanya sebagai hal penting.
2. ”Hard” versus
”Soft” virtues. Pertanyaan-pertanyaan: apakah disiplin diri, kesetiaan
(loyalitas) sungguh-sungguh penting? atau, apakah kepedulian, pengorbanan,
persahabatan sangat penting? Kecenderungannya untuk menjawab YA untuk kedua
pertanyaan tersebut.
3. Focus on the
individual versus on the environment or community. Apakah karakter yang
tersimpan pada individu ataukah karakter yang tersimpan dalam norma-norma dan
pola-pola kelompok atau konteks? Jawabnya, memilih kedua-duanya (Schaps &
Williams, 1999 dalam Williams, 2000: 35).
b.
Perspektif Teoritis
1. Community of
care (Watson)
2. constructivist
approach to sociomoral development (DeVries)
3. child
development perspectives (Berkowitz)
4. eclectic approach (Lickona)
5. traditional
perspective (Ryan) (the National Commission on Character Education dalam
Williams, 2000: 36)
2.5 EKSISTENSI GURU KREATIF DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
“Guru yang baik terwujud
dari hati.” (Barbara Dorff, guru sekolah lanjutan teladan dari texas) dan “Hal
yang paling indah tentang mengajar adalah bahwa semakin banyak kita memberi,
maka semakin banyak pula yang akan kita peroleh kembali.” (Richard Sprecher,
guru teladan dari Montgomery Country, Maryland) (Fakhrudin, 2009:98). Bagimana
dengan kita?
Guru menjadi kata kunci untuk mewujudkan pendidikan karakter. Guru
sebagai orang yang dipercaya dan diteladani oleh murid harus memberikan contoh
karakter yang kuat. Hal ini akan menjadi dasar yang kuat bagai seorang guru
untuk membentuk karakter siswanya. Dengan demikaan, akan terwujud filosofi guru
digugu (dipercaya) dan ditiru(diteladani). Akan tetapi apabila perilaku guru
tidak dapat menjadi teladan bagi siswanya tetapi justru menjadi “tontonan”
salah siapa?
Seorang guru harus mendidik. Hal ini sejalan dengan tujuan
pendidikan yang disamapaikan Santoso (1981:33, Hidayatullah, 2010:18) bahwa
tujuan setiap pendidikan yang murni adalah menyusun harga diri yang kukuh-kuat
dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam masyarakat.
Selanjutnya dijelaskna pula bahwa pendidikan bertugas mengembangkan potensi
individu semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk
manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu kemmapuan, dan batas kemampuannya.
Merujuk pemikiran di atas, berarti pembentukan karakter dan watak menjadi salah
satu tanggung jawab dan tugas seorang guru dalam mendidik peserta didiknya.
Mendukung pendapat di atas, Hidayatullah (2010:18) berpendapat
bahwa guru yang memiliki makna “digugu dan ditiru” (dipercaya dan dicontoh)
secara tidak langsung juga memberikan pendidikan karakter kepada peserta
didiknya. Oleh karena itu, profil dan penampilan guru seharusnya memiliki
sifat-sifat yang dapat membawa peserta didiknya ke arah pembentukan karakter
yang kuat. Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi teladan bukan sekadar
memberi teladan dan menjadi contoh bukan sekadar memberi contoh.
Kesadaran menjadi guru kreatif dan berkarakter yang menjadi contoh
dan teladan harus dimiliki oleh guru TK, SD, SMP/MTs, SMA/MA/K tanpa
terkecuali. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut harus dilakukan secara
bersama-sama antara dinas pendidikan, pemerintah, stakeholder pendidikan, dan
semua elemen bangsa. Dengan duduk bersama para pemangku kepentingan pendidikan
memikirkan kepentingan bangsa dan generasi penerus secara komit maka akan
terwujud pendidikan karakter bangsa.
Dalam rangka pembentukan karakter guru ini, seorang dekan FKIP
UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. telah menulis buku: (1) Guru
Sejati: Membangun Insan Berkarkater Kuat dan Cerdas’ dan (2) Pendidikan
Karakter: Membangun Peradaban Bangsa yang diterbitkan Penerbit Yuma Pustaka
Surakarta. Dengan membaca kedua buku tersebut diharapkan dapat menjadi
inspirasi bagi guru dan dosen untuk menjadi guru dan dosen yang berkarakter
kuat dan cerdas. Dengan demikian akan lahir guru-guru dan dosen-dosen kreatif,
inovatif, cerdas, dan berkarakter kuat.
2.6 PERAN DOSEN INSPIRATIF
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Merujuk pada pemikiran dan kedua buku Prof. Dr. Furqon (2009 dan
2010) guru dan dosen akan termotivasi untuk selalu menjadi inspirator bagi
mahasiswanya. Dosen harus menjadi pionir teladan bagi mahasiswa di perguruan
tinggi. Seoarang dosen memiliki tugas dan tanggung jawab tidak jauh seperti
seorang guru. Akan tetapi, seorang dosen memiliki tanggung jawab untuk menjadi
pionir taladan bagi mahasiswaa dan masyarakat dalam melaksanakan tri darma
perguruan tinggi. Dengan demikian, peran dosen di perguruan tinggi harus
memiliki citra inspiratif dan berkarkater.
Hidayatullah (2010:18) berpendapat bahwa keluaran institusi
pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang “pandai” tetapi juga orang
“baik” dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “pandai”
tetapi “tidak baik”, sebaiknya juga pendidikan tidak hanya menghasilkan orang
“baik” tetapi “tidak pandai”. Pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak
pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter.
Mengacu pada pemikiran di atas, seorang dosen harus refleksi diri
akan kinerja selama ini. Seorang dosen harus selalau berkarya dan
mengimplementasikannya kepada mahasiswa melalui pembelajaran, kepada masyarakat
melalui penelitian dan pengabdian. Hal dapat didasarkan pada prinsip bahwa
kuatnya arus pembelajaran berarti kuatnya karakter guru dan dosen, kuatnya
karakter guru dan dosen berarti kuatnya pendidikan kita, dan kuatnya pendidikan
kita berarti kuatnya bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak boleh ada rantai
terputus antara guru dan dosen dalam pembentukan karakter generasi muda di masa
yang akan datang.
Pemikiran Hidayatullah (2010:19) bahwa orang yang “pandai” saja
tetapi “tidak baik” akan menghasilkan orang yang “berbahaya” karena dengan
kepandaiannya bisa menjadikan sesuatu menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Setidak-tidaknya pendidikan masih lebih bagus menghasilkan orang-orang “baik”
walaupun kurang “pandai.” Tipe ini paling tidak akan memberikan suasana
kondusif karena ia memiliki aklhak yang baik.
Upaya untuk mewujudkan pemikiran tersebut terjadi di perguruan
tinggi karena para sarjana dipersiapkan sebagai generasi penerus yang berakhlak
dan mandiri. Oleh karena itu, pemikiran tersebut didukung oleh Ary Ginanjar
(dalm Hidayatullah, 2009:v) bahwa saya semakin merasakan betapa pentingnya
pendidikan karakter setelah mempelajari ilmu dan semangat samurai. Para samurai
memilki dua hal, yaitu Wasa dan Do. Wasa artinya skill sedangkan Do artinya The
way of life (prinsip hidup) yang dikenal Bushido. Pemikiran-pemikiran tersebut
dapat direalisasikan apabila dosen membelajarkan mahasiswa dengan kreativitas
berimbang antara hardskill dan softskill, dan landasan karakter yang kuat.
Dengan demikian, akan dihasilkan para sarjana yang berkarakter kuat dan cerdas
sebagai calon generasi bangsa.
2.7 GURU DAN DOSEN HARUS
REFLEKSI DIRI
Sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru dan dosen
ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru
dan dosen. Tidak semua guru dan dosen yang telah mendapat sertifikat pendidik
dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas. Selain itu, belum tentu semua
profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Dengan pernyataan ini bukan
berarti penulis merasa sudah profesional. Akan tetapi justru harus dipikirkan
secara bersama-sama bagaimana upaya untuk merefleksi dan memperbaikinya.
Pemikiran tersebut selaras dengan pendapat Walantaqi (2010:116)
bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal
dasar, yaitu (1) adanya kecerdasan (dzuka-in), (2) motivasi yang jelas arah dan
sasaran yang tepat (birshin), (3) ketekunan dan usaha (isbtibar), (4)
partisipasi dan pembiayaan (bulghat), (5) tenaga edukatif yang berkualitas
(irsyadi ustadzin), (6) Long life learning (thuliz zamanain). Merujuk pendapat
tersebut berarti peran guru dan dosen memilki andil penting sebagai salah satu
modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.
Upaya refleksi peran guru dan dosen dalam upaya mewujudkan
pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui karya pengembangan profesi,
baik buku, modul, buku ajar, makalh, jurnal, dll.. Seorang guru dan dosen
diharapkan dapat menumbangkan ide-ide kreatif dalam pengembangan genrasi muda
yang berkarakter melalui seminar, workshop, lokakarya, dan diskusi ilmiah, baik
tingkat nasional maupun internasional. Bukan hanya sebagai peserta tetapi
sebagai pembicara. Dengan demikian, akan tercipta atmosfir akademik yang
sinergis dan holistik dalam berbagai ranah kehidupan ilmiah, baik bagi guru dan
dosen di mana pun berada.
Guru dan dosen diumpamakan tokoh-tokoh yang membentuk karakter
pelajar dan mahasiswa. Selain itu, guru dan dosen juga yang memberikan senjata
berupa “ilmu” sebagai “pedang” untuk mengubah dunia. Berbicara senjata untuk
mengubah dunia ini harus belajar pada para Samurai. Para Samurai memiliki
senjata yang disebut Katana atau Pedang. Pedang yang tajam tentu mengerikan dan
berbahaya jika dimiliki oleh orang yang tidak bermoral. Pedang menjadi tidak
berbahaya ketika pemegangnya mempunyai sifat yang disebut Bushido, yaitu
amanah, pengasih, santun, sopan, mulia, hormat, dan lain-lain. Apabila para
pelajar dan sarjana lulusan kita memiliki sikap dan perilaku seperti para
Samurai, yakinlah bahwa pendidikan karkater akan dapat segera terwujud.
Dengan demikian, peran guru
dan dosen sangat besar dalam mewujudkan pendidikan karakter, dengan catatan
guru dan dosen harus memiliki karakter kuat dan cerdas terlebih dahulu baru
membentuk karakter pelajar dan mahasiswanya. Bagaimana dengan kita sebagai guru
dan dosen? Marilah kita refleksi bersama-sama, kemudian niatkan dalam hati
untuk refleksi dan mengubah diri untuk berpartisipasi dalam mewujudkan
pendidikan karakter bangsa Indonesia.
2.8 PENDIDIKAN KARAKTER
Berbicara
pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter
SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk
mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan
regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan
global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki
kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk
itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki
integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan
peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992)
menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1)
Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada
nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda
merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah
sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga
keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih
diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5)
Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi
merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai
pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah
mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7)
Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi
guru yang baik, dan (7) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih
beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang
meningkat.
Alasan-alasan di
atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini
mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks
seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan
sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan
lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan
pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet
(2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli,
dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini
mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan
bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini
mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non
formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling
peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan
dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik
dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.
2.9
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
Upaya untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter adalah melalui Pendekatan Holistik,
yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah.
Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
1. Segala
sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru,
dan masyarakat
2. Sekolah
merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas
yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
3. Pembelajaran
emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
4. Kerjasama dan
kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
5. Nilai-nilai
seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran
sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
6. Siswa-siswa
diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui
kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
7. Disiplin dan pengelolaan
kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
8. Model
pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas
demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan
memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru,
orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur
karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang
bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya
sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat
mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan
di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru,
orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US
Department of Education).
Mengacu pada konsep pendekatan holistik dan dilanjutkan dengan
upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses
pendidikan karakter tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan (continually)
sehingga nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam pribadi anak tidak hanya
sampai pada tingkatan pendidikan tertentu atau hanya muncul di lingkungan
keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa
anak tidak terkesan bersifat formalitas, namun benar-benar tertanam dalam jiwa
anak.
2.10 PERAN PENDIDIK DALAM MEMBENTUK KARAKTER SDM
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yang penting ia
memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak. Peran
pendidik pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral.
Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa
pemikiran tentang peran pendidik, di antaranya:
1. Pendidik
perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif
sebagai upaya membangun pendidikan karakter
- Pendidik bertanggungjawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
3. Pendidik
perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
4. Pendidik
perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin
untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter.
- Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Hal-hal lain yang pendidik dapat lakukan dalam
implementasi pendidikan karakter (Djalil dan Megawangi, 2006) adalah: (1)
pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif
aktif siswa, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
(3) pendidik perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis,
dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good,
and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan siswa
masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum
yang melibatkan 9 aspek kecerdasan manusia. Agustian (2007) menambahkan bahwa
pendidik perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui
pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya
mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.
Berdasarkan penjelasan di atas, saya mencoba
mengkategorikan peran pendidik di setiap jenis lembaga pendidikan dalam
membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, pendidik (1)
harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan
siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi contoh
tauladan kepada siswanya dalam berprilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong
siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang
variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian,
kemampuan dan keinginan guru dapat menciptakan hubungan yang saling menghormati
dan bersahabat dengan siswanya, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan
emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai
ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi
kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan kepada
siswa sehingga guru dalam membimbing siswa yang sulit tidak mudah putus asa.
Sementara dalam pendidikan informal seperti
keluarga dan lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus
menunjukkan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki
kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) harus
memberikan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi pengembangan karakter
anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya untuk senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.
Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik
lakukan sebagaimana disebut di atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang
karakter kepribadian yang memiliki kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter
mandiri dan unggul, (2) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (3) konflik
bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi
Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik dengan
perbedaan etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan
landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Cukup beralasan bila pendidikan karakter bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu adalah karena meningkatkan akhlak luhur para siswa adalah tanggung jawab semua guru,semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan adalah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
1. Cukup beralasan bila pendidikan karakter bangsa dalam pembelajarannya diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Alasan-alasan itu adalah karena meningkatkan akhlak luhur para siswa adalah tanggung jawab semua guru,semua guru harus menjadi teladan yang berwibawa, tujuan utuh pendidikan adalah membentuk sosok siswa secara utuh, pencapaian pendidikan harus mencakupi dampak instruksional dan dampak pengiring.
2. Implementasi pendidikan karakter
bangsa terintegrasikan kedalam semua mata pelajaran, pengembangannya lebih
memadai pada model kurikulum terpadu dan pembelajaran terpadu dengan menentukan
center core pada mata pelajaran yang dibelajarkan.
3. Proses
pengembangan Pendidikan karakter bangsa sebagai pembelajaran terpadu harus
diproses seperti kuriklum lainya yaitu sebagai ide, dokumen, dan proses; kejelian
profesional dan penguasaan materi; dukungan pendidikan luar sekolah; arahan
spontan dan penguatan segera; penilaian beragam; difusi, inovasi dan
sosialisasi adalah komitmen-komitmen yang harus diterima dan disikapi dalam
pencanangan pembelajaran terpadu Pendidikan karakter bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar